Angin musim gugur yang
dingin mulai menyapa, menandakan sebentar lagi akan memasuki bulan Agustus
dimana musim dingin telah menanti. Jalanan kota mulai licin dan telah memakan
beberapa korban dalam kecelakaan. Masyarakat kota Seoul mulai mengenakan pakaian
hangat saat berada diluar rumah. Tidak jarang dari mereka malas bepergian
karena hawa dingin. Daun pohon mapple berguguran terbang tertiup angin musim
dingin.
Seorang pemuda tampak
berjalan terburu-buru melintasi jalanan yang mulai ramai, sesekali dia melihat
jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Pemuda itu
berjalan menuju salah satu apartmen yang terletak di kawasan Gwanghamun.
Apartemen yang menjulang tinggi diantara bangunan toko disekitarnya tampak
megah, dengan warna cat perpaduan antara emas dan coklat. Tempat itu memang
salah satu kawasan elit didaerah Gwanhamun, para pemiliknya rata-rata orang
kelas menengah keatas.
Sang pemuda itu masuk
kedalam lift dan segera memencet tombol lantai 15. Tidak butuh waktu lama bunyi
ting pintu lift yang telah terbuka
dan pemuda berambut coklat itu segera melesat keluar dari lift. Dia berlari
menuju salah satu kamar dimana seseorang telah meninggunya dibalik pintu. Dengan
nafas tersengal, dia menekan beberapa password dan membuka pintu bertuliskan room 412 . Saat dia membuka pintu
tampaklah seorang wanita dengan setelah merah marun dan jas putih seorang
dokter.
“Yaa Myungsoo. Kau tau
sudah berapa lama aku menunggumu hah?!” wanita itu menyilangkan kedua tangannya
didepan dada dan menatap sinis kearah pemuda yang dipanggilnya Myungsoo itu.
Pemuda bernama Kim
Myungsoo itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan memberikan senyum
mautnya. “Hehehe mianhae noona. Tadi aku sedang bersama beberapa sunbae ku yang
cantik, jadi maafkan aku ya.”
Kim Minjin, nama wanita
cantik yang berdiri didepan Myungsoo itu. Rambut hitam bergelombang sepanjang
bahu, mata coklat yang memancarkan keberanian dan kebebasan serta bibir tipis
cerrynya. Banyak sekali agensi yang menawarinya kotrak sebagai model atau pemain
drama namun semua itu dia tolak.
Alasannya menolak semua
itu karena dia sudah tergila-gila dengan profesinya yang sekarang. Dokter.
Minjin memang sangat ingin menjadi dokter namun bukan pada umumnya. Dari sekian
banyak dokter, Minjin memilih menjadi dokter forensik yang setiap hari bertemu
dengan para mayat di rumah sakit. Memang bukan hal yang salah tapi bagi
beberapa orang pekerjaannya itu sangat disayangkan karena bagi wanita secantik itu
harus berurusan dengan mayat yang terkadang anggota tubuhnya sudah tidak
lengkap atau hancur.
Mau bagaimana lagi,
justru pekerjaan itu yang membuatnya tergila-gila. Bahkan kedua orang tuanya
pun sangat menyayangkan pekerjaan yang dipilih anak tertuanya itu, dari sekian
banyak pekerjaan yang layak mengapa Minjin malah memilih menjadi dokter
forensik yang identik dengan laki-laki dan terutama mayat.
Entah mengapa hanya
Myungsoo yang mengerti dan mendukung noonanya itu. Myungsoo sendiri lumayan
tertarik dengan dunia medis tapi dia lebih senang menghabiskan waktunya di
galeri seni miliknya. Berjam-jam berdua hanya dengan kanfas, kuas dan cat dalam
studionya. Myungsoo sangat tertarik dengan seni melebihi rasa ketertarikannya
dengan dunia medis. Dia hanya senang melihat dari balik meja saat noonanya
membelah kucing liar dengan pisau dapur milik eomma, mengeluarkan semua organ
dalamnya dan menelitinya. Terkadang Myungsoo membantu Minjin membersihkan semua kekacauan yang
noonanya perbuat. Bahkan jika sedang bosan hanya melihat noonanya beraksi
seperti Vicktor Frankenstein si ilmuan gila, Myungsoo akan mengambil kertas dan
pensil lalu menggambar apapun yang dilihatnya.
Kedua kakak beradik ini
memang memiliki sifat yang sedikit berbeda dari manusia normal pada umumnya.
Batas normal bagi mereka adalah dengan tidak membunuh manusia lainnya kecuali
manusia itu yang menginginkannya, entah prinsip dari mana tapi kenyataannya
itulah yang selama ini terjadi.
Myungsoo menatap
sekeliling dan baru menyadari saat ruang tamu noonanya tampak berantakan,
meskipun didalam terlihat gelap namun Myungsoo yakin noonanya telah membuat
kekacauan lagi. Dia menatap noonanya dengan malas, “Noona, apa yang telah kau
lakukan huh?”.
“Yaa aku tidak sengaja
“ Minjin menunduk, memainkan ujung jarinya “hanya sedikit melukainya, sedikit
mungkin”.
Dengan cepat Myungsoo
masuk kedalam, mengamati seberapa buruk kekacauan yang dilakukan kakak
tersayangnya itu. Dia sedikit terkejut saat tidak sengaja kakinya menginjak
sesuatu yang tampak kenyal. Myungsoo merogoh kantongnya mengeluarkan handphone
dan menyalakan flashnya lalu mengarahkan kebawah membantunya untuk melihat apa
yang sudah ia injak tadi. Dengan muka masam dia menatap noonanya lagi, “Ini
yang kau bilang sedikit melukai? “ dia kembali mengarahkan flashnya kesekitar
sofa dan betapa terkejutnya dia saat melihat seonggok mayat manusia yang hanya
menyisahkan bagian pinggang hingga kakinya saja. “Kemana bagian atasnya?”
Dengan suara rendah
Minjin menjawab, “Sisanya ada di dalam bathup dan eum bagian kepalanya tidak
sengaja tercebur kedalam... toilet”.
“APA!!” Myungsoo tidak
sengaja berteriak saat mendengar noonanya berbicara, “kau sengaja memasukkannya
kedalam sana? Sebenarnya apa yang sedang Noona lakukan dengan lelaki ini.”
“Aku hanya sedikit
bermain, tapi dia yang salah. Dia terus saja menggangguku setiap aku pulang dari sift malam.
Dia terus saja merecokiku untuk tidur bersamanya dan yah akhirnya aku
mengajaknya kemari dan sedikit bermain dengannya.”
Myungsoo hanya
memandangi noonanya dengan tatapan takjub, dia heran mengapa bisa mempunyai
seorang noona seperti Minjin. Dari luar Minjin memang tampak seperti wanita
karir pada umumnya, tetapi saat kau mengganggu ketenangannya dia akan berubah
menjadi ular dan akan mempermainkan mangsanya sebelum dia bunuh.
Myungsoo berjalan
kearah kamar mandi yang tampak lebih bercahaya daripada suasana diruang tamu
tadi. Kesan pertamanya saat melihat isi bathup adalah ini maha karya yang sangat indah yah setidaknya untuk seorang Kim
Myungsoo tontonan didepannya adalah sebuah maha karya. Dalam bathup indah itu
mengambang beberapa organ tubuh dan oh mungkin itu jari tangan.
Dia merendahkan
tubuhnya dan melihat kedalam air yang sudah berubah warna semerah darah itu.
Dia mengamati sebentar dan menemukan sesuatu yang ganjil “Dimana hatinya?”
“Uh-oh mungkin saat kau
berjalan diruang tamu tanpa sengaja menginjak sesuatu yang lembek, disana
hatinya berada. Aku tidak sengaja menjatuhkannya disana saat...”
“Kau membuatnya menjadi
mainan lagi? Hati itu?”
“Tidak! Kali ini aku
berpikir untuk mendonorkannya, tapi tidak jadi saat kulihat gumpalan hitam
disana. Huh sayang sekali dia perokok aktif.”
Kali ini Myungsoo
benar-benar heran dengan noonanya ini, tidak biasanya dia repot-repot mengamati
hati seseorang yang telah menjadi mainannya dan berpikir untuk mendonorkannya.
Entahlah mungkin Minjin noona sudah memiliki sedikit rasa bersalah, batinnya.
“Lalu sekarang
bagaimana?” Myungsoo menataap Minjin yang sedang sibuk menggigiti kuku jarinya,
kebiasaannya saat sedang berpikir.
“Aku akan buang kepala
dan organ tubuhnya mungkin bisa kugunakan untuk eksperimen, sisanya terserah
padamu.” Minjin menatap Myungsoo tanpa dosa.
“Kau benar-benar hanya
ingin mudahnya saja ckckck.”
“Yaa kau kan adikku
jadi harus kau yang menyelesaikan tugas akhirnya. Hei kenapa tidak buat maha
karya yang indah saja.”
Myungsoo tampak
berpikir sejenak dan mengamati sekitar, mencari bagian tubuh mana yang masih
bisa digunakan dan menjadikannya sebuah karya seni. “Hmm aku memikirkan
sesuatu..” Myungsoo menatap Minjin sebentar, “noona, dimana dia tinggal?”
“Coba kuingat hhm Hong
Jae Soo, mahasiswa magang kurang ajar yang tinggal disekitar sini. Oh aku ingat
dia juga tinggal di apartemen ini lantai 7 kamar 211. Huh pantas saja dia
selalu mengikutiku ternyata dia cukup mampu juga untuk menyewa apartemen
disini.”
Minjin menatap jijik
kearah kepala yang mengambang tidak sempurna di dalam toiletnya. Baru kali ini
dia merasa jijik dengan mainannya sendiri.
“Sudahlah noona,
berhenti mengomel dan cepat panggil layanan kamar. Aku membutuhkannya sebagai
penyamaran untuk membuat mahakarya ku.” Myungsoo mulai memunguti organ-organ
lelaki malang yang mejadi mainan noonanya itu.
Dengan menggunakan
sarung tangan latex – untuk menghindari adanya sidik jari dan berbagai
kemungkinan terburuk – dia memasukkan semuanya kedalam kantung plastik hitam.
Memberikan sedikit pewangi untuk menyamarkan bau amis darah. Tidak lupa
membersihkan tempat kejadian perkara dengan cepat. Tak berapa lama bel pintu
kamar Minjin berbunyi disusul dengan suara lelaki dengan sedikit berteriak,
“Permisi, layanan kamar.”
Minjin yang sudah siap
dengan obat bius ditangannya segera membuka pintu, dia sengaja memberikan
sedikit penerangan agar TKP yang belum benar-benar bersih itu tidak di ketahui
oleh pelayan laki-laki itu.
“Oh syukurlah kau cepat
datang lampu di ruang tv tiba-tiba mati dan tadi aku juga mendengar sesuatu
yang mengerikan di balkon.”
“Baik nyonya, saya akan
mengganti lampunya dan memeriksa balkon apakah ada sesuatu disana.”
“Aku akan berterima
kasih sekali.” Minjin tersenyum misterius dan mengajak pelayan itu masuk. Baru
beberapa langkah Minjin sudah memulai aksinya, membekap mulut pelayan laki-laki
tak berdoa itu dan sedikit memukul lehernya. Jangan salah Minjin bukan hanya
dokter gila saja, dia menguasai taekwondo dan sudah mendapat sabuk hitam.
Myungsoo yang sedari
tadi bersembunyi dalam kegelapan hanya bisa menyaksikan kakak perempuannya itu
beraksi. Dia keluar dari tempatnya dengan menyeret kantong plastik hitam itu.
Myungsoo dan Minjin bergerak cepat melucuti seragam pelayan itu, tak berapa
lama Myungsoo sudah mengganti pakaiannya dengan seragam pelayan. Sedangkan
sang yang malang itu diikat dan
dimasukkan kedalam kantong plastik hitam yang sama. Myungsoo berjalan keluar
untuk mengambil troli yang ada didekat pintu masuk, dia membawanya kedalam dan
memasukkan mahakarya kakaknya kedalam
troli tidak lupa sang pelayan juga dimasukkan kedalam troli. Mereka tidak
berniat untuk membunuh pelayan itu hanya saja sang pelayan akan dijadikan umpan
pembuka untuk mahakarya mereka berdua.
Dengan gerakan cepat
Myungsoo masuk kedalam lift dan menekan lantai 2. Rencana awalnya adalah
menyembunyikan pelayan ini kedalam tempat laundry di lantai 2 dan dengan
setengah hati Myungsoo harus menaiki tangga darurat ke lantai 7. Jika saja
Myungsoo tidak tertarik dengan maharkarya yang sejak tadi dia bayangkan mungkin
sekarang mayat lelaki sialan ini sudah teronggok manis dalam tempat sampah.
Untung saja selama ini
Myungsoo selalu melatih fisiknya dengan latihan taekwondo atau sekedar pergi ke
pusat kebugaran dan hasilnya sekarang dia sedang memanggul mayat seorang lelaki
yang tidak dikenal. Dengan cepat Myungsoo menyelinap masuk kedalam kamar Jae Soo,
menyamarkan diri sebagai pelayan dan masuk menggunakan kartu apartemen si
korban. Setelah menutup pintu dengan cekatan Myungsoo meneliti tiap sudut
ruangan, mencari sesuatu untuk menambahkan sentuhan kecil pada mahakaryanya.
Dengan telaten lelaki
berbadan tegap itu menyusun potongan tubuh Jae Soo membentuk sebuah kata,
menggunakan sedikit darah yang tersisa untuk menyatukan potongan tubuh itu agar
dapat terbaca. Kata sakral yang dia ambil dari kehidupan. Kematian. Dengan
senyum mengembang Myungsoo memperhatikan mahakaryanya itu. Setelah puas
memandangi, Myungsoo berjalan perlahan kembali ke tempat noonanya. Kembali seakan
tidak terjadi apapun pada malam itu. Kembali membaur dengan kehidupan warga
seperti biasanya.